Skip to main content

[REVIEW] Bersenang-senang Membaca "Sirkus Pohon"

Judul : Sirkus Pohon
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal buku : 424 Halaman
ISBN13 : 9786022914099 



Setelah dibikin berdebar-debar dan penasaran setengah mati oleh Bentang Pustaka yang sebulan Juli kemarin terus-terusan mengunggah teaser "Karya ke-10 Andrea Hirata", akhirnya semua itu sirna. Para penggemar karya Andrea Hirata pastinya bersuka cita menyambut kelahiran sang buah hati yang ke-10 ini. Diberi judul "Sirkus Pohon", karya terbaru yang dirilis pada 18 Agustus kemarin memang betul-betul menceritakan tentang sirkus dan pohon.

Secara garis besar novel ini menceritakan tentang seorang pemain sirkus bernama Sobri. Awalnya, Sobri adalah seorang pengangguran yang membuatnya menjadi abang yang tidak membanggakan buat adiknya, Azizah. Tapi, betapa Sobri senang bukan main ketika akhirnya ia mendapat pekerjaan sebagai badut sirkus. Kemudian ada cerita tentang pohon delima yang konon menjadi pohon keramat di kampung Sobri. Yang membuat pohon ini spesial pula adalah pohon ini tumbuh besar di pekarangan rumah Sobri. Pohon ini yang kemudian menjadi pokok permasalahan dari setiap potongan kisah dalam novel ke-10 Andrea ini.

Sebenarnya sejak awal kalimat novel ini kita sudah diajak membicarakan soal pohon delima. Tapi, tentu saja bukan Andrea namanya kalau kita tidak diajak mengeksplorasi cerita tokoh lain di dalamnya. Ada cerita Sobri, cerita Taripol, cerita Dinda, cerita Gastori, dan cerita cinta Tara dan Tegar.

Baiklah, Kawan, kuceritakan padamu soal pertempuranku melawan pohon delima di pekarangan rumahku dan bagaimana akhirnya pohon itu membuatku kena selalu wajib lapor setiap Hari Senin, di Polsek Belantik. -- Aku di Sini, 2.

Ada yang unik dari novel ini. Saya bingung dengan posisi naratornya. Jadi di beberapa bab novel ini akan diceritakan langsung oleh tokoh aku yang bernama Sobri (Hmm... namanya enggak jauh beda dari nama tokoh utama di novel Ayah, ya?), dan beberapa bab lainnya menggunakan sudut pandang orang ketiga. Yakni ketika menceritakan Tara, Tegar, hingga cerita politik ala-alanya Gastori dan Penasihat Abdul Rapi.

Dan memang sudah menjadi gaya berkisah yang khas Andrea Hirata, novel kali ini masih tetap jenaka dan sangat asyik untuk dibaca. Jujur, saya sudah beli novel ini sejak pertama kali rilis. Bela-belain menempuh perjalanan 12 kilometer dari kantor ke toko buku yang menghabiskan waktu selama satu jam untuk membeli novel ini (saya sengaja tidak ikut PO karena enggak mau kena ongkir, hehe). Meski begitu, novel yang sebenarnya tidak tebal-tebal amat ini bisa dihabiskan dalam waktu semalam saja. Tapi saya sengaja membaca dengan sangat irit karena takut kembali kesepian kalau cepat-cepat membaca novel ini.

Ya, kita benar-benar serasa diajak menonton sirkus ketika membaca ini. Tahu, kan bagaimana suasana sebuah sirkus? Riuh, ramai, meriah, seru, bercahaya, dan berapi-api. Tidak cuma bagian kisah pertunjukan sirkusnya, tapi menurut saya hampir keseluruhan cerita di novel ini menggambarkan sebuah pementasan sirkus. Yang paling kentara adalah di bagian kisah pemilihan Kepala Desa Ketumbi.

Sebenarnya saya tidak terlalu menikmati bagian ini, tapi ini adalah bagian yang paling berkesan buat saya karena cerita polemik pemilihan desa ini menjadi potret nyata dinamika permainan politik aparat pemerintahan. Di bagian ini Andrea bisa saja mengisahkan alotnya persaingan antarcalon yang sampai melibatkan pohon delima di pekarangan rumah Sobri dengan penuturan yang kocak. Jadi malah tidak bikin kita gemas dan kesal melainkan tersenyum nyengir-nyengir aneh.

Ah, ada hal spesial lagi di novel ini. Kalau kata Pak Cik, novel ini gaya berkisahnya agak berbeda dari novel lainnya, yakni menggunakan teknik sintetik. Aduh, kalau udah pakai istilah sastra kayak begitu saya enggak begitu paham. Sintetik di sini maksudnya adalah membandingkan hal-hal yang tidak berhubungan. Ada dua cerita besar yang disampaikan oleh Pak Cik dalam novel Sirkus Pohon ini, yakni kisah-kisah manusia yang menjadi tokoh di sini dan kisah si Pohon Delima.

Memang, di tengah-tengah cerita nanti kita akan disajikan sedikit cerita fantasi dari Si Pohon Delima. Pohon ini dibuat seolah-olah memahami semua yang terjadi di Desa Ketumbi, termasuk hal aneh yang terjadi pada Dinda-- gebetan Sobri. Nah, soal ini saya punya komentar khusus. Sampai sekarang saya masih bingung dengan hubungan antara keanehan yang terjadi pada Dinda dengan Si Pohon Delima. Sampai halaman terakhir buku ini saya tidak kunjung mendapat jawabannya. Ah, mungkin ceritanya nanti akan dilanjutkan di seri selanjutnya (Yup! Novel ini kabarnya akan dibuat trilogi, yeay!!)

Tara percaya akan pertemuan. Bahwa orang-orang saling bertemu karena suatu alasan. Bahwa pertemuanlah yang membentuk lingkaran-lingkaran nasib manusia. -- Mistik Pertemuan, 149.

Ada satu frasa andalan yang ada di novel ini. Buat saya, satu frasa ini meski sederhana tapi punya kekuatan super untuk membuat hari kita lebih bersemangat. Frasa itu adalah "Bangun pagi, let's go!" yang berkali-kali diucapkan oleh Sobri di pagi hari sebelum ia berangkat kerja. Ketika membacanya, saya membayangkan bagaimana Sobri mengucapkan kalimat itu dengan penuh semangat. Meski pekerjaanya adalah badut sirkus, tapi ia selalu antusias menyambut harinya dan kalimat itu menambah kekuatannya untuk melakukan pekerjaan. Dari sini saya pun belajar untuk selalu bersemangat di setiap aktivitas kita dari yang paling sederhana sampai yang paling susah.

Nah, seperti yang saya bilang di atas tadi, saya membaca novel ini sedikit demi sedikit. Kebetulan saya sedang kehabisan bahan bacaan, makanya saya takut kesepian kalau selesai membaca novel ini. Dan ketakutan itu menjadi nyata. Ketika saya sudah membaca tulisan "The end" di bagian akhir, suasana tiba-tiba hening, sunyi. Ah, betapa hebatnya Pak Cik kita satu ini. Pandai betul membuat bacaan yang riuh ramai seolah-olah pembaca sedang menonton sebuah pertunjukan.

Yang masih misterius dari kesepuluh karya Andrea ini adalah kesukaannya menggunakan karakter pengangguran. Sekalinya punya pekerjaan pastilah pekerjaan yang upahnya tidak besar. Namun, pelajaran yang saya dapatkan dari karakter seperti ini adalah sesengsara apapun hidup kita, pasti ada lebih banyak hal yang membuat kita bahagia. Syukur, itu yang penting. Kita lihat saja bagaimana setiap karakter pengangguran yang diciptakan oleh Andrea selalu bisa membuat dirinya bahagia meski hidupnya begitu nelangsa. Pun Andrea menyampaikannya dengan kalimat-kalimat yang jenaka sehingga kita bisa turut menikmati kehidupan seru si pengangguran ini. So, hidup nelangsa tak melulu menyedihkan, sepertinya begitu pesan Andrea.

Menurut saya, novel Andrea kali ini tidak cuma hadir sebagai pelipur lara semata melainkan juga "punch line" dari novel-novelnya yang lain. Kalau di novel sebelumnya, Ayah, Andrea sudah banyak mengembangkan kisah yang jenaka namun kisah yang diangkat cukup mengaduk-aduk emosi lantaran kisah Sabari dan Lena yang sungguh memilukan, di Sirkus Pohon ini Andrea benar-benar menghadirkan kisah yang kocak, lucu, dan menghibur. Ya, memang ada secuil kisah galau di sini, tapi nampaknya Andrea lebih senang membuat pembacanya tertawa bahagia ketimbang diam-diam galau gelisah. Ia seperti menyampaikan, "Ayo, kawan! Jangan galau melulu, mari kita tertawa bahagia sekarang!"

Kabar sedihnya, CNN pernah memberitakan bahwa Pak Cik Andrea ingin pensun dari dunia tulis menulis dan memilih sibuk berkebun dan berkarya di kampung halamannya, Belitong. Kita tidak bisa menebak apakah ini memang karya Andrea yang terakhir atau ia masih akan memenuhi janjinya menyelesaikan judul novel Ikal dan Lintang (yang sudah beberapa kali muncul di halaman belakang novel-novel Andrea sebelumnya). Semoga saja Pak Cik masih terus melahirkan novel yang asyik dan ciamik macam Sirkus Pohon ini. Kita, para pembaca setia, harush lebih sabar lagi sepertinya untuk menantikan karya-karya Andrea selanjutnya.

Overall, saya kasih bintang 4.5 dari 5 untuk novel ini. Nice work, Pak Cik! Ku sungguh menanti kisah Sobri selanjutnya.




.arifina007.

Comments

Popular posts from this blog

Kebijaksanaan dalam ‘Jancuk’

Judul : Jiwo J#ncuk Penulis : Sujiwo Tejo Penerbit : Gagas Media Tebal Buku : 196 Hlm Tahun terbit : 2012 ISBN : 9797805727 Ketika membaca judul buku ini mungkin orang mengira buku ini berisikan tentang kritikan Sujiwo Tejo si penulis Jiwo J#ncuk kepada pemerintah Indonesia. Sujiwo Tejo memang terkenal dengan kritikan-kritikan pedas dan cerdasnya mengenai hal tersebut. Namun, sesungguhnya isi buku ini tidaklah seperti dua buku sebelumnya yakni Ngawur karena Benar dan Lupa Endonesa.

Mengintip Gerak-gerik Televisi Indonesia dari Buku Media&Kekuasaan

Judul : Media & Kekuasaan Penulis : Ishadi SK Penerbit : Kompas Gramedia Tahun terbit : 2014 Tebal : 286 hlm Pengaruh kepentingan pemilik media dan kepentingan politik pemerintah akan selalu mengikat gerak-gerik jurnalis di media kita saat ini. Pengaruh tersebut ternyata bukan terjadi pada era pasca Pemilu 2014 ini melainkan sudah sejak pertama kali berdirinya TVRI di Indonesia. Televisi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengkonstruksi pemahaman masyarakat tentang apa yang sedang terjadi di Indonesia ini. Hal ini pun membuat masyarakat semakin cerdas mengkritik dan di samping itu pula pemerintah seolah merasa “terancam” gerak-geriknya lantaran cepatnya informasi tersebar ke berbagai daerah di Indonesia. Buku ini diangkat dari karya ilmiah disertasi Ishadi SK dalam program doktoralnya di Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Disertasi ini sebenarnya sudah disusun sepuluh tahun silam, namun baru dibukukan sekarang karena harus melalui proses penyuntingan yang ...

[Apresiasi Buku] Korean Cool: Di Balik Drama Reply 1988 sampai SMTown Paris 2012

Judul :  Korean Cool Penulis :  Euny Hong Penerbit :  Bentang Pustaka Tebal buku :  xx + 284 hlm; 20,5 cm Cetakan ke :  Pertama Tahun terbit :  2016 Apa yang terlintas pertama kali dalam benakmu ketika mendengar sebuah negara bernama Korea? Jawabannya kalo enggak cowok ganteng, flower boy, Super Junior, ya SNSD. Korea yang kita kenal sekarang adalah salah satu negara paling keren di dunia dan negara paling berjaya se-seantero Asia. Tapi, Korea sekitar tiga hingga empat dekade lalu bukanlah negara yang kita tau sekarang. Korea tiga hingga empat dekade lalu adalah negara miskin yang pendapatan per kapitanya lebih rendah dari Guatemala dan Zimbabwe lalu sekarang kita menyaksikan sendiri perubahan besar yang dilakukan Korea. Buku ini bakalan membuka wawasan kita tentang apa yang dilakukan Korea sampai-sampai mereka bisa jadi raksasa Asia sekarang. Korea sama sekali tidak keren pada 1985. (hlm. xi)