![]() |
Judul : Media & Kekuasaan Penulis : Ishadi SK Penerbit : Kompas Gramedia Tahun terbit : 2014 Tebal : 286 hlm |
Pengaruh
kepentingan pemilik media dan kepentingan politik pemerintah akan selalu
mengikat gerak-gerik jurnalis di media kita saat ini. Pengaruh tersebut ternyata
bukan terjadi pada era pasca Pemilu 2014 ini melainkan sudah sejak pertama kali
berdirinya TVRI di Indonesia. Televisi memiliki pengaruh yang sangat besar
dalam mengkonstruksi pemahaman masyarakat tentang apa yang sedang terjadi di
Indonesia ini. Hal ini pun membuat masyarakat semakin cerdas mengkritik dan di
samping itu pula pemerintah seolah merasa “terancam” gerak-geriknya lantaran
cepatnya informasi tersebar ke berbagai daerah di Indonesia.
Buku
ini diangkat dari karya ilmiah disertasi Ishadi SK dalam program doktoralnya di
Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Disertasi ini sebenarnya sudah disusun
sepuluh tahun silam, namun baru dibukukan sekarang karena harus melalui proses
penyuntingan yang ketat agar buku ini layak dibaca sebagai karya populer dan
tidak terlalu berbau akademis. Adapun televise yang menjadi objek penelitiannya
adalah SCTV, RCTI, dan Indosiar karena menurutnya ketiga stasiun televise
tersebut pada masa pemerintahan Presiden Soeharto memiliki peran yang besar
dalam menggulingkan Presiden Soeharto pada tahun 1998. Salah satu kalimat
Ishadi SK dalam buku ini yang menurut saya paling penting dan menarik adalah
pernyataannya tentang tanpa ketiga televise swasta itu reformasi mungkin tidak
akan terjadi.
Pada
awal buku ini dijelaskan tentang peran pemilik media, petinggi redaksi, hingga
jurnalis di dalam newsroom. Lebih
jelasnya adalah bagaimana pemilik media memiliki kontrol yang sangat besar
terhadap berita-berita yang akan ditayangkan. Pada bab pertama, Ishadi
menegaskan bahwa jurnalis sebenarnya tidak punya kekuasaan apa-apa dalam
memilih topik berita. Tidak semua hal yang ia beritakan akan diperbolehkan
pemimpin redaksi untuk ditayangkan. Begitupun dengan pemimpin-pemimpin redaksi
yang selalu ditekan oleh pemilik media agar tidak memilih berita yang merugikan
pihak mereka.
SCTV,
RCTI, dan Indosiar merupakah tiga contoh stasiun televise Indonesia yang punya
hubungan dekat dengan Presiden Soeharto. Dalam setiap pemberitaannya, para
petinggi ketiga media tersebut berusaha untuk mendukung pemerintah Soeharto. Namun,
ketiga televise ini pulalah yang kemudian memberikan kritik keras terhadap
pemerintahan Soeharto yang mulai semena-mena sejak terjadinya krisis moneter
1997. Merekalah yang baik secara sembunyi-sembunyi maupun blak-blakan menuntut
agar Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden.
Melalui
buku ini Ishadi menjelaskan bahwa memang ada permainan “kotor” dalam newsroom media massa, dalam hal ini
adalah televise. Hal ini dijelaskan dalam Bab III buku ini. Televisi yang
pertama kali dimiliki Indonesia adalah TVRI atas prakarsa Menteri Penerangan
Maladi yang akhirnya disetujui oleh Presiden Soekarno pada tahun 1969. Awalnya
TVRI digunakan untuk kepentingan informasi publik, namun karena tidak ada
saingan siaran, pemerintah pun jadi merasa “memiliki” stasiun televise tersebut
sehingga pemerintah mengontrol dengan sangat ketat konten-konten pemberitaan
TVRI.
Munculnya
fenomena rental video di kalangan masyarakat karena kurangnya tayangan hiburan
di TVRI membuat para pegiat media mendirikan media baru, yakni RCTI. Ia
merupakan stasiun televise swasta pertama di Indonesia. Sejak tahun 1990 itulah
media televise melebarkan sayapnya sebagai alat kapitalisme. Televisi swasta
mementingkan banyaknya iklan yang masuk. Di Bab III pembaca dijelaskan dengan
gamblang bagaimana rating
mempengaruhi slot iklan dalam sebuah program acara di televise.
Pada
mulanya, televise swasta oleh pemerintah tidak diperbolehkan menayangkan atau
membuat program berita. Mereka hanya boleh me-relay berita dari TVRI. Namun, Peter Sondakh selaku direktur RCTI
merasa bahwa televise bisa hidup dari pemberitaan. Akhirnya, RCTI membuat
program “Seputar Indonesia”, disusul dengan “Liputan 6” dari SCTV dan “Fokus”
dari Indosiar. Dengan adanya program-program berita ini, stasiun televise
swasta tersebut jadi saling bersaing memperoleh berita eksklusif. Prestasi
berita eksklusif paling akbar diraih oleh RCTI yang menayangkan pernyataan
Menteri Harmoko yang meminta Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya.
Tayangan tersebut ditampilkan dalam program “Seputar Indonesia”yang dipandu
oleh Desi Anwar.
Tak
hanya soal topik, para pengelola berita juga berperan dalam menentukan isi
tulisan berita. Hal ini dijelaskan dalam bab soal Legitimasi dan Delegitimasi
teks berita. Baik RCTI, SCTV, maupun Indosiar semuanya melakukan hal ini di
setiap pemberitaannya, termasuk penyusunan slot berita yang akan ditayangkan.
Pada
akhirnya, Ishadi menegaskan bahwa sesungguhnya dinamika newsroom televise di Indonesia sejak awal sudah dibumbui dengan hal-hal
politis. Menjadi nilai tambah pula bagi televise swasta yang mencampuradukkan
kapitalisme di dalam pengelolaannya. Hal ini membuat jurnalis tak bisa merdeka
dan independen sebagaimana mestinya. Seperti yang sudah dijelaskan di awal
bahwa dalam pengelolaan media, mulai dari kalangan jurnalis hingga pemilik
media memiliki tekanan masing-masing yang tak lepas dari unsur politik.
.arifina007.
Comments
Post a Comment
Gimana pendapatmu tentang buku ini?